Pernik Semarak Ramadhan di Indonesia
PERNIK SEMARAK RAMADHAN DI INDONESIA
Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin MA
Bulan Ramadhan selalu mendapat tempat khusus di sanubari kaum Muslimin. Setiap negara memiliki pernik-pernik tersendiri dalam menyemarakkannya. Di Indonesia, ada banyak kegiatan yang biasa dilakukan untuk meramaikankan bulan barakah ini. Jalan-jalan selepas shalat Subuh, ngabuburit menjelang buka puasa, bermain kembang api dan petasan, dan ronda malam menjelang sahur adalah contohnya.
Contoh-contoh di atas banyak terjadi di bulan Ramadhan meski juga dilakukan di waktu lain. Yang menjadi pembahasan tulisan ini bukan ibadah-ibadah yang disyariatkan atau acara-acara bid’ah menyambut Ramadhan seperti padusan dan nyadran di mana hukumnya sudah jelas. Yang akan dibahas adalah pernik-pernik penyemarak yang hukum dasarnya mubah (boleh), namun barangkali mengandung unsur yang membuatnya tidak lagi mubah dan perlu untuk diperingatkan, agar bulan Ramadhan kita semakin barakah dan tidak mengundang murka Allâh Azza wa Jalla . Mari kita membahasnya satu persatu dan memulainya dari kegiatan di awal hari.
1. Jalan-jalan Selepas Shalat Shubuh.
Kegiatan ini memang mengasyikkan. Udara yang segar, pemandangan yang elok, tubuh yang masih segar selepas sahur, dan hari indah yang dimulai dengan shalat Subuh berjamaah terkumpul menjadi satu. Di banyak daerah, waktu ini menjadi ramai sepanjang bulan, seolah-olah setiap hari adalah libur. Saat banyak orang memilih kembali mendengkur, banyak juga yang memilih berje-je-es. Bagaimana hukumnya menurut Islam? Tentu saja tidak masalah jika tidak mengandung unsur haram. Namun faktanya, sebagian orang tidak hanya jalan-jalan santai, tapi jalan-jalan plus, ada yang plus ‘cuci mata’, dan sebagian lagi plus pacaran.
Sampai di sini, perlu kita renungkan hadits berikut:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنْ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ
“Sungguh Allâh telah telah menakdirkan atas setiap anggota tubuh[1] anak Adam bagiannya dari zina, dan takdir itu niscaya tidak luput darinya. Zina mata adalah melihat, zina lisan adalah berbicara, jiwa berangan-angan dan berhasrat, dan kemaluan membenarkan hal itu atau mendustakannya.” [HR. al-Bukhâri no. 5889]
Maksud hadits ini, Allâh Azza wa Jalla telah menciptakan untuk manusia indera yang dengannya ia dapat merasakan kenikmatan zina, serta memberinya syahwat dan kekuatan untuk bisa melakukannya. Mata misalnya, berzina dengan melihat hal yang diharamkan, lidah berbicara ke arah zina, dan pikiran berangan-angan. Jika lantas ia meneruskan zina dengan kemaluan, maka berarti kemaluan telah membenarkan, dan jika tidak berarti kemaluan telah mendustakannya. Semua manusia tidak luput dari hal ini kecuali yang ma’shum. [2]
Imam as-Suyûthi rahimahullah mengatakan: “Artinya, Allâh Azza wa Jalla menakdirkan bagian dari zina atas anak Adam. Ada yang zinanya hakiki dengan memasukkan kemaluan, dan ada yang majazi dengan melihat dan sejenisnya.” [3]
2. Ngabuburit.
Ngabuburit adalah kata dalam bahasa Sunda. Burit artinya senja, dan ngabuburit berarti mengisi waktu senja. Dalam konteks bulan Ramadhan, ngabuburit berarti mengisi waktu senja sambil menunggu waktu berbukia tiba. Setelah puasa seharian, badan mulai melemah lemas, dan anak-anak membutuhkan kegiatan yang melupakan mereka dari kelelahan berpuasa atau rasa bosan menunggu waktu berbuka. Sebagian orang mengisinya dengan olah raga, sebagian lagi jalan-jalan sambil mencari bekal buka puasa.
Seperti kegiatan yang pertama, ngabuburit juga pada dasarnya boleh. Namun hendaknya kegiatan ini jangan sampai mengandung unsur haram, misalnya melihat kepada yang haram, mendengarkan musik, atau permainan yang melalaikan seperti catur dan dadu.
Saat berpuasa, kita mengharap ridhâ Allâh Azza wa Jalla dengan meninggalkan makan dan minum yang hukumnya mubah. Bagaimana kita meninggalkan sesuatu yang mubah, namun kita justru melakukan hal yang haram? Perkara yang haram di luar puasa menjadi lebih haram lagi saat berpuasa. Dan jika kita melakukannya, Allâh Azza wa Jalla tidak butuh puasa kita, sebagimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barang siapa yang belum meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta serta perbuatan bodoh, Allâh tidak butuh darinya untuk meninggalkan makan dan minum.” [HR. al-Bukhâri no. 5710]
Kata jahl dalam hadits ini bukanlah anonim (lawan kata) dari ilmu, tapi lawan kata dari hilmu, maksudnya perbuatan bodoh, melanggar dan hal-hal yang diharamkan. Penggunaan kata ini seperti penggunaan kata jahiliyah, karena masyarakat jahiliyah memiliki banyak ilmu, tapi tidak memiliki hilmu, sehingga sangat mudah terjadi peperangan di antara mereka karena hal sepele.[4]
3. Kembang Api dan Petasan
Kembang api dan petasan sangat disukai anak-anak dan remaja. Di malam bulan Ramadhan, permainan ini biasanya bertambah marak. Apakah ia seperti permainan yang lain? Mari kita simak pendapat para ulama di zaman ini.
Ahli fiqih abad ini, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah mengatakan, ” Jika ada orang yang hobi petasan, membeli dan meledakkannya, maka orang seperti ini tergolong safîh (bodoh, tidak bisa mengelola hartanya dengan baik) dan harus dihajr (dilarang bertransaksi).”[5]
Menteri Agama Kerajaan Arab Saudi yang juga ulama terkemuka, Syaikh Shâlih bin ‘Abdul ‘Azîz Alu Syaikh hafizhahullâh mengatakan, “Tentang petasan yang menyebabkan gangguan kesehatan atau masalah ekonomi untuk pembelinya, maka hukumnya tidak boleh.”[6]
Permainan ini memilik banyak unsur negatif seperti membahayakan tubuh dan kesehatannya, merusak lingkungan, mengganggu ketenangan masyarakat, dan membuang-buang harta secara percuma. Sudah banyak korban yang jatuh dari permainan ini; tangan anak-anak yang hancur karena ledakannya, rumah dan bangunan yang terbakar, mobil yang meledak saat mengangkutnya, dan sebagainya. Karenanya, bukan hanya para Ulama yang melarang permainan seperti ini, pada umumnya, orang-orang berakal sepakat akan bahayanya, sehingga bisnis ini dilarang secara resmi di banyak negara. Bahkan para pedagang petasan yang meraup keuntungan besar dari bisnis ini pun tidak memungkiri bahayanya.[7]
Perlu diketahui juga bahwa para ulama tidak membedakan antara petasan dan kembang api dalam hukum, dan keduanya setali tiga uang [8] dalam berbagai bahaya tersebut di atas.
4. Ronda Membangunkan Orang Sahur
Di banyak daerah terutama pedesaan, berkeliling kampung menjelang waktu sahur umum dilakukan oleh anak-anak dan remaja. Biasanya hal ini dilakukan sambil memainkan kentongan beramai-ramai.
Membangunkan orang untuk sahur atau membangunkan ibu-ibu untuk menyiapkan sahur tentu saja merupakan tujuan yang mulia. Namun, jika caranya seperti yang kita sebutkan di atas, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan, antara lain:
a. Jika memang masyarakat membutuhkan hal seperti ini, maka perlu dipilih cara yang tidak melanggar aturan agama, misalnya dengan peringatan melalui pengeras suara masjid. Jam beker di zaman sekarang juga bisa didapat dengan mudah dan murah, sehingga masing-masing orang bisa menggunakannya sesuai keperluan. Adapun kentongan, apalagi jika dibunyikan secara beramai-ramai, para penggelut musik menggolongkannya sebagai alat musik. Maka ini termasuk dalam keumuman larangan menggunakan alat musik, sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
Akan ada di antara umatku orang-orang yang menghalalkan zina, sutra, khamr dan alat musik. [HR. al-Bukhâri no. 5268]
b. Kaum Muslimin tidak seragam dalam waktu bangun sahur. Ada yang lebih senang bangun mepet waktu Subuh, ada yang lebih suka agak dini. Ada yang sudah memasak di malam hari, dan ada yang biasa menyiapkannya menjelang sahur. Dengan demikian, membangunkan mereka pada satu waktu tidaklah tepat. Ibu-ibu yang menyiapkan sahur hingga larut malam akan terganggu jika dibangunkan pada jam dua malam, apalagi biasanya suara gaduh kentongan baru hilang jika para peronda telah selesai mengelilingi seluruh kampung.
5. Begadang di Malam Ramadhan.
Di sebagian daerah, kaum Muslimin terbiasa mengisi malam Ramadhan dengan tidak tidur sampai Subuh. Ihyâul lail (menghidupkan malam) pada bulan Ramadhan memang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, khususnya di sepuluh malam terakhir.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Jika masuk sepuluh malam terakhir, Nabi mengencangkan sarung beliau, menghidupkan malam, dan membangunkan keluarga beliau.” [HR al-Bukhâri no. 1920 dan Muslim no. 1174]
Namun perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan menghidupkan malam di sini adalah mengisinya dengan ibadah, seperti shalat, membaca al-Qur`ân, atau dzikir. Imam al-Munâwi rahimahullah berkata, “Maksudnya meninggalkan tidur –yang merupakan saudara kematian- dan beribadah di sebagian besar malam, tidak sepanjang malam dengan dalil perkataan ‘Aisyah, ‘Aku tidak mengetahui beliau pernah qiyam sepanjang malam sampai pagi’.” [9]
Jika begadang diisi dengan kemungkaran seperti menonton acara-acara yang tidak baik di TV, permainan-permainan yang dilarang agama, atau ibadah yang tidak ada contohnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidur lebih baik dari itu semua. Apalagi jika kegiatan begadang ini membuat kita lalai dari kewajiban agama seperti shalat Subuh berjamaah.
Orang bijak mengatakan.
مَنْ شَغَلَهُ الْفَرْضُ عَنِ النَّفْلِ فَهُوَ مَعْذُورٌ وَمَنْ شَغَلَهُ النَّفْلُ عَنِ الْفَرْضِ فَهُوَ مَغْرُورٌ
“Barang siapa melewatkan yang sunnah karena tersibukkan kewajiban, bisa dimaklumi. Dan barang siapa melewatkan kewajiban karena tersibukkan oleh yang sunnah, maka ia telah tertipu.”[10]
Penutup
Itulah beberapa pernik semarak Ramadhan di negeri kita. Janganlah kegembiraan kita menyambut Ramadhan malah membawa kita kepada murka Allâh Azza wa Jalla . Banyak orang yang begitu perhatian dengan pembatal-pembatal puasa dan berusaha mengindarinya, namun pada saat yang sama, tidak memperhatikan pembatal pahala puasa atau pengurang pahalanya. Janganlah fokus kita terbatas pada sah tidaknya puasa kita, tapi marilah kita menggapai derajat orang-orang pilihan Allâh Azza wa Jalla yang berpikir apakah ibadah Ramadhan saya diterima Allâh Azza wa Jalla ? Karena sah berarti tidak batal, hanya menggugurkan kewajiban dan belum tentu diterima. Semoga Allâh Azza wa Jalla membimbing kita kepada ridhoNya dan menjauhkan kita dari murkaNya. Amin.
Referensi:
1. Ad-Dîbâj ‘alâ Muslim bin al-Hajjâj, as-Suyûthi.
2. Asy-Syarhul Mumti’, Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, Dar Ibnul Jauzi.
3. At-Taisîr bi Syarh al-Jâmi’ ash-Shaghîr, ‘Abdur Râuf al-Munâwi, Maktabah Imam Syafi’i.
4. Faidhul Qadîr, Abdur Rauf al-Munâwi, al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra.
5. Fathul Bâri, Ibnu Hajar al-‘Asqalâni, Darul Ma’rifah.
6. Kamus Peribahasa, J.S. Badudu, Penerbit Kompas.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XV/1432/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1]. Terjemahan ini berdasarkan beberapa riwayat hadits yang menyebutkan anggota tubuh.
[2]. At-Taisîr bi Syarh al-Jâmi’ ash-Shaghîr 1/518.
[3]. Ad-Dîbâj ‘alâ Muslim 6/20.
[4]. Syarh Bulûghul Marâm, ‘Athiyyah Muhammad Sâlim, kajian no. 147
[5]. Asy-Syarh al-Mumti’ 9/304.
[6]. Lihat: Arsip Multaqâ Ahlil Hadîts 61/297. (ahlalhadeeth.com)
[7]. Lihat: Arsip Multaqâ Ahlil Hadîts 61/299. (ahlalhadeeth.com)
[8]. Tali dan uang adalah istilah pecahan uang di zaman penjajahan. 1 tali bernilai 30 duit, dan 1 uang bernilai 10 duit. Jadi 1 tali = 3 uang, dan makna peribahasa ini adalah sama saja. (Kamus Peribahasa hal. 49)
[9]. Faidhul Qadir 5/132.
[10]. Fathul Bari 11/343.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3939-pernik-semarak-ramadhan-di-indonesia.html